Kamis, 12 Juli 2012


SHALAT WITIR

Shalat witir adalah shalat yang dikerjakan malam hari sebagai penutup dari shalat sunat. Dinamakan karena jumlah rakaatnya harus ganjil. Banyak hadis Nabi yang menganjurkan untuk melaksanakan shalat witir. Hukum shalat witir adalah sunat, tetapi terhadap Nabi Muhammad sendiri adalah wajib. Namun menurut Abi Hanifah hukum shalat witir juga wajib hukumnya terhadap umat Nabi SAW. Karena adanya khilafiyah tentang kewajiban shalat witir ini maka shalat witir lebih afdhal dari semua shalat sunat rawatib lainnya.
Jumlah rakaat shalat witir sekurang-kurangnya adalah satu rakaat walaupun tidak didahului oleh shalat sunat ba`da isya, sedangkan sebanyak-banyaknya adalah sebelas rakaat. Apabila ketika takbir tidak diniatkan jumalah rakaat maka dibolehkan untuk shalat witir dengan jumlah rakaat yang ia kehendaki, 1, 3,5 ataupun lebih. Waktu shalat witir adalah sama seperti waktu shalat tarawih yaitu setelah shalat isya hingga terbit fajar.

Terhadap orang yang menyerjakan shalat witir lebih dari satu rakaat maka boleh saja ia salam pada setiap dua rakaat, bahkan ini yang lebih utama, atau ia sambung dengan satu kali tasyahud yaitu pada rakaat terakhir atau dua kali tasyahud yaitu pada dua rakaat terakhir. Serta tidak boleh mengerjakan tasyahud sebelum dua rakaat terakhir. Selain itu tidak dibolehkan dikerjakan satu kali salam dengan tasyahud lebih dari dua kali.
Terhadap orang yang mengerjakan shalat witir sebanyak 3 rakaat disunatkan untuk membaca surat Al A`la pada rakaat pertama, dan surat Al-kafirun pada rakaat kedua dan surat AlIkhlas, Al-Falaq serta An-Nas  pada rakaat ketiga. Sedangkan bila shalat lebih dari 3 rakaat maka ketiga surat tersebut dibaca pada tiga rakaat terakhir bila tiga rakaat terakhir dikerjakan terpisah dari yang lain.

Doa shalat witir.

Disunatkan setelah shalat witir sesuai dengan hadis riwayat Abu Dawud dan Imam Turmuzi untuk membaca
 سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْس

Sebanyak tiga kali. Pada kali yang ketiga dibaca dengan suara yang lebih besar.
Selanjutnya dibaca :

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ برِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Atau bila ingin membaca doa yang lebih panjang setelah membaca سبحان الملك القدوس3 X kemudian dilanjutkan dengan membaca  :[1]

سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ جَلَّلْتَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِاْلعِزَّةِ وَاْلجَبَرُوْتِ وَتَعَزَّزْتَ بِاْلقُدْرَةِ وَقَهَّرْتَ اْلعِبَادَ بِاْلمَوْتِ
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ برِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
)يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ( 40 x
فِي كُلِّ لَحْظَةٍ  اَبَدًا عَدَدَ خَلْقِكَ وَرِضَى نَفْسِكَ وَزِنَةَ عَرْشِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ

Witir dulu atau tidur dulu.

Terhadap orang yang yakin bahwa iakan terbangun setelah tidur maka lebih baik ia mentakhirkan witir, dan bila ia kerjakan setelah tidur maka dengan witir tersebut ia juga mendapat pahala tahajud, jadi dengan shalat witir setelah tidur juga hasil shalat tahajud. Sedangkan terhadap orang yang takut tidak terbangun sebelum fajar maka lebih baik ia shalat witir sebelum tidur.

Menurut pendapat lain yang lebih utama adalah shalat witir terlebih dahulu kemudian ketika terbangun sebelum fajar shalat tahajud.

Kedua pendapat tersebut berasal dari amal dua shahabat Nabi SAW, Abu Bakar dan Saidina Umar. Saidina Abu Bakar melakukan witir sebelum tidur kemudian ketika bangun tengah malam melakukan shalat tahajud, sedangkan Saidina Umar tidur terlebih dahulu kemudian bangun melaksanakan Tahajud dan witir.  Kemudian keduanya melaporkan hal ini kepada Rasulullah SAW maka Rasulullah menjawab “ini (Abu Bakar) mengambil yang pasti, sedangkan ini (Umar bin Khatab) mengambil dengan kekuatan’’. Imam Ghazali menerangkan bahwa Imam Syafii lebih memilih amal Abu Bakar ra.

Referensi:

  1. Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 1 hal 252 Cet. Haramain
  2. Khulasah fi Aurad wa ad`iyyah waridah wa ma`tsurah, Habib Umar bin Salim bin Hafidh Cet. Dar Faqih, Tarim


[1]Khulasah fi Aurad wa ad`iyyah waridah wa ma`tsurah, Habib Umar bin Salim bin Hafidh hal 13 Cet. Dar Faqih, Tarim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar