SHALAT WITIR
Shalat witir
adalah shalat yang dikerjakan malam hari sebagai penutup dari shalat sunat.
Dinamakan karena jumlah rakaatnya harus ganjil. Banyak hadis Nabi yang
menganjurkan untuk melaksanakan shalat witir. Hukum shalat witir adalah sunat, tetapi
terhadap Nabi Muhammad sendiri adalah wajib. Namun menurut Abi Hanifah hukum
shalat witir juga wajib hukumnya terhadap umat Nabi SAW. Karena adanya
khilafiyah tentang kewajiban shalat witir ini maka shalat witir lebih afdhal
dari semua shalat sunat rawatib lainnya.
Jumlah
rakaat shalat witir sekurang-kurangnya adalah satu rakaat walaupun tidak
didahului oleh shalat sunat ba`da isya, sedangkan sebanyak-banyaknya adalah
sebelas rakaat. Apabila ketika takbir tidak diniatkan jumalah rakaat maka
dibolehkan untuk shalat witir dengan jumlah rakaat yang ia kehendaki, 1, 3,5
ataupun lebih. Waktu shalat witir adalah sama seperti waktu shalat tarawih
yaitu setelah shalat isya hingga terbit fajar.
Terhadap orang yang menyerjakan shalat witir lebih
dari satu rakaat maka boleh saja ia salam pada setiap dua rakaat, bahkan ini
yang lebih utama, atau ia sambung dengan satu kali tasyahud yaitu pada rakaat
terakhir atau dua kali tasyahud yaitu pada dua rakaat terakhir. Serta tidak
boleh mengerjakan tasyahud sebelum dua rakaat terakhir. Selain itu tidak
dibolehkan dikerjakan satu kali salam dengan tasyahud lebih dari dua kali.
Terhadap orang yang mengerjakan shalat witir sebanyak
3 rakaat disunatkan untuk membaca surat Al A`la pada rakaat pertama, dan surat
Al-kafirun pada rakaat kedua dan surat AlIkhlas, Al-Falaq serta An-Nas
pada rakaat ketiga. Sedangkan bila shalat lebih dari 3 rakaat maka ketiga surat
tersebut dibaca pada tiga rakaat terakhir bila tiga rakaat terakhir dikerjakan
terpisah dari yang lain.
Doa shalat
witir.
Disunatkan
setelah shalat witir sesuai dengan hadis riwayat Abu Dawud dan Imam Turmuzi
untuk membaca
سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْس
سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْس
Sebanyak
tiga kali. Pada kali yang ketiga dibaca dengan suara yang lebih besar.
Selanjutnya
dibaca :
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ برِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Atau bila
ingin membaca doa yang lebih panjang setelah membaca سبحان الملك
القدوس3 X kemudian dilanjutkan dengan membaca :[1]
سُبُّوحٌ
قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ جَلَّلْتَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ
بِاْلعِزَّةِ وَاْلجَبَرُوْتِ وَتَعَزَّزْتَ بِاْلقُدْرَةِ وَقَهَّرْتَ اْلعِبَادَ
بِاْلمَوْتِ
اَللَّهُمَّ
إِنِّي أَعُوْذُ برِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ
عَلَى نَفْسِكَ
)يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ
سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ( 40 x
فِي كُلِّ
لَحْظَةٍ اَبَدًا
عَدَدَ خَلْقِكَ وَرِضَى نَفْسِكَ وَزِنَةَ عَرْشِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ
Witir dulu
atau tidur dulu.
Terhadap orang yang yakin bahwa iakan terbangun
setelah tidur maka lebih baik ia mentakhirkan witir, dan bila ia kerjakan
setelah tidur maka dengan witir tersebut ia juga mendapat pahala tahajud, jadi
dengan shalat witir setelah tidur juga hasil shalat tahajud. Sedangkan terhadap
orang yang takut tidak terbangun sebelum fajar maka lebih baik ia shalat witir
sebelum tidur.
Menurut pendapat lain yang lebih utama adalah shalat
witir terlebih dahulu kemudian ketika terbangun sebelum fajar shalat tahajud.
Kedua pendapat tersebut berasal dari amal dua shahabat
Nabi SAW, Abu Bakar dan Saidina Umar. Saidina Abu Bakar melakukan witir sebelum
tidur kemudian ketika bangun tengah malam melakukan shalat tahajud, sedangkan
Saidina Umar tidur terlebih dahulu kemudian bangun melaksanakan Tahajud dan
witir. Kemudian keduanya melaporkan hal ini kepada Rasulullah SAW maka
Rasulullah menjawab “ini (Abu Bakar) mengambil yang pasti, sedangkan ini (Umar
bin Khatab) mengambil dengan kekuatan’’. Imam Ghazali menerangkan bahwa Imam
Syafii lebih memilih amal Abu Bakar ra.
Referensi:
- Hasyiah
I`anatuth Thalibin jilid 1 hal 252 Cet. Haramain
- Khulasah
fi Aurad wa ad`iyyah waridah wa ma`tsurah, Habib Umar bin Salim bin Hafidh
Cet. Dar Faqih, Tarim
[1]Khulasah fi Aurad wa ad`iyyah waridah wa ma`tsurah, Habib Umar bin Salim
bin Hafidh hal 13 Cet. Dar Faqih, Tarim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar